Peristiwa

Malam Membara Di Surabaya: Gedung Negara Grahadi Dilalap Api, Massa Mengamuk

orbitnasional333
626
×

Malam Membara Di Surabaya: Gedung Negara Grahadi Dilalap Api, Massa Mengamuk

Sebarkan artikel ini
Img 20250901 wa0002

SURABAYA – Suasana mencekam menyelimuti jantung Kota Pahlawan saat malam mulai larut. Gedung Negara Grahadi, simbol pemerintahan dan sejarah di Jawa Timur, menjadi saksi amukan massa yang memuncak menjadi tragedi.

Sisi barat bangunan peninggalan kolonial itu dilalap si jago merah, sementara di sekelilingnya, teriakan dan dentuman flare memecah kesunyian malam.

Aksi demonstrasi yang awalnya berlangsung dengan tuntutan pembebasan rekan-rekan mereka yang ditangkap, berubah menjadi kerusuhan. Ribuan orang mengepung kawasan Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, sejak minggu malam (31/8/2025).

Ketegangan meningkat tajam ketika upaya negosiasi antara Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa dan Pangdam V Brawijaya Mayjen Rudy Saladin tak mampu menenangkan amarah massa.

Tak lama setelah pertemuan itu, kobaran api muncul dari lima titik. Spanduk, kayu, dan ban dibakar di sepanjang jalan.

Suasana berubah bak zona perang ketika kembang api dan flare ditembakkan ke arah kompleks Grahadi.

Asap mengepul ke langit, cahaya oranye menyelimuti bangunan megah yang selama ini menjadi ruang kerja Wakil Gubernur Jatim.

Sisi barat Gedung Grahadi, yang menyimpan peralatan kerja dan ruang press room, kini hanya menyisakan arang dan puing-puing.

Massa bahkan berhasil menjebol pintu gerbang bagian barat, membuka jalan menuju kerusakan yang lebih besar. Pohon-pohon di sekitar turut terbakar, memperparah situasi.

Bangunan bersejarah ini tidak hanya kehilangan bentuk fisiknya, tetapi juga luka simbolik bagi warga Surabaya.

Grahadi bukan sekadar bangunan ia adalah saksi bisu perjuangan panjang, pengambilan keputusan, dan denyut politik Jawa Timur selama puluhan tahun.

Gubernur Khofifah mengaku telah menghubungi Kapolda Jatim Irjen Nanang Avianto untuk menegosiasikan pembebasan massa yang sebelumnya ditahan dalam aksi solidaritas terhadap Affan Kurniawan. Namun malam itu, jalan menuju damai terasa terlalu jauh.

Ratusan personel TNI dan Polri dikerahkan, namun upaya pengendalian situasi terkendala oleh luapan emosi kolektif.

Beberapa pengamat menyebutkan bahwa aksi ini bisa menjadi titik kritis dalam dinamika politik dan sosial di Jawa Timur, bahkan nasional.

Gedung Negara Grahadi dibangun pada era Hindia Belanda dan telah menjadi salah satu ikon arsitektur kolonial di Surabaya.

Fungsinya sebagai pusat pemerintahan wakil kepala daerah menjadikannya titik strategis baik secara administratif maupun simbolik.

Kehancuran sebagian bangunan ini bukan hanya kehilangan aset negara, tapi juga peringatan akan rapuhnya stabilitas di tengah krisis kepercayaan publik.

Suara dari Jalanan,Seorang pengunjuk rasa yang tidak ingin disebutkan namanya berkata,

“Kami bukan perusuh. Kami hanya muak. Mereka yang bersuara dibungkam. Apa lagi yang bisa kami lakukan agar didengar?”

Sementara itu, warga sekitar hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. “Kami takut, tapi juga sedih. Gedung itu bagian dari kota kami. Sekarang tinggal puing,” ucap seorang ibu pemilik warung dekat lokasi kejadian.

Peristiwa ini meninggalkan luka mendalam bukan hanya karena api yang membakar dinding-dinding tua, tetapi juga karena ketidakmampuan sistem untuk menjawab kegelisahan rakyat.

Grahadi telah menjadi bara yang menyala, memperlihatkan bahwa di balik tembok kekuasaan, ada amarah yang tak lagi bisa dibendung.

Kini, saat pagi menyingsing di atas puing-puing Gedung Grahadi, pertanyaannya bukan hanya tentang siapa yang salah. Tapi bagaimana negara akan menjawab jeritan rakyatnya.(ded)