SURABAYA – Gelombang aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh di enam wilayah Jawa Timur pada 29–30 Agustus 2025 lalu meninggalkan luka mendalam, bukan hanya berupa kerugian materiil yang ditaksir mencapai Rp124 miliar, tetapi juga jatuhnya korban dari kalangan aparat kepolisian.
Berdasarkan data Bidang Kedokteran dan Kesehatan (Biddokes) Polda Jawa Timur, tercatat 83 personel Polri mengalami luka-luka ketika melaksanakan tugas pengamanan massa. Dari jumlah tersebut, 65 orang hanya membutuhkan perawatan jalan, sementara 18 lainnya harus menjalani rawat inap akibat cedera yang cukup parah.
Rincian yang diterima, dari 18 personel yang harus dirawat inap, 15 di antaranya dirawat di RS Bhayangkara Surabaya. Mereka mengalami luka serius mulai dari robekan di tubuh, patah tulang, hingga cedera otak ringan akibat benturan keras.
Sementara itu, satu personel dirawat di RS Saiful Anwar (RSSA) Malang karena patah tulang selangka, satu lagi dilarikan ke RS Mitra Keluarga Surabaya setelah mengalami luka robek di kepala, dan seorang Polwan dirawat di RS Bhayangkara Kediri akibat luka robek di bagian depan kepala.
Kabid Humas Polda Jatim, Kombes Pol Jules Abraham Abast, menyampaikan apresiasi tinggi terhadap dedikasi anggota Polri yang tetap profesional meskipun menghadapi ancaman serius di lapangan.
“Personel kami menjadi garda terdepan dalam menjaga ketertiban. Mereka menghadapi risiko besar: lemparan benda keras, serangan fisik, bahkan upaya pembakaran fasilitas kepolisian,” ungkap Kombes Abast, Senin (1/9/2025).
Selain korban dari aparat, kericuhan tersebut juga menimbulkan dampak sosial yang cukup berat. Puluhan pos polisi dirusak massa, sejumlah kantor pemerintahan mengalami kerusakan parah, hingga beberapa ruas jalan protokol sempat lumpuh total akibat blokade massa.
Situasi itu membuat warga di pusat kota Surabaya, Malang, Kediri, dan sejumlah daerah lain diliputi rasa cemas. Trauma sosial pun menjadi salah satu konsekuensi nyata dari peristiwa yang tidak diinginkan tersebut.
Meski begitu, Polda Jatim menegaskan bahwa pihaknya bersama masyarakat tidak akan membiarkan kondisi ini melemahkan semangat persatuan. Polisi terus menggencarkan sinergi dengan seluruh elemen masyarakat untuk mengantisipasi potensi provokasi lanjutan.
“Kami sangat mengapresiasi kesadaran masyarakat yang kini semakin kuat menjaga lingkungannya secara swakarsa lewat gerakan serentak warga jaga warga,” kata Abast.
Gerakan tersebut tidak hanya terjadi di Surabaya, tetapi juga mulai tumbuh di berbagai kabupaten dan kota di Jawa Timur.
Menurutnya, kesadaran kolektif inilah yang akan menjadi kunci mewujudkan ‘Jogo Jatim’ sebuah semangat menjaga Jawa Timur agar tetap aman, damai, dan kondusif.
“Kalau masyarakat kompak, polisi juga sigap, maka upaya pihak-pihak yang ingin memecah belah persatuan akan gagal total,” tegasnya. (ji)