Hukrim

Kinerja Pengadilan Agama Bojonegoro Dipertanyakan, Dugaan Maladministrasi Cerai Gugat Mencuat

orbitnasional333
7141
×

Kinerja Pengadilan Agama Bojonegoro Dipertanyakan, Dugaan Maladministrasi Cerai Gugat Mencuat

Sebarkan artikel ini
Img 20250828 140557 351 copy 1280x960

BOJONEGORO – Dugaan maladministrasi di Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro dalam perkara cerai gugat antara LD binti WG dengan suaminya MI bin AI, yang berujung pada terbitnya Akta Cerai Nomor 1143/AC/2025/PA.Bjn. menjadi perbincangan hangat dikalangan masyarakat.

Akta cerai tersebut disahkan pada 13 Juni 2025, setelah majelis hakim menjatuhkan putusan pada 22 Mei 2025 dengan nomor perkara 948/Pdt.G/2025/PA.Bjn.

Namun, kejanggalan mencuat setelah pihak suami, MI, dengan tegas menyatakan bahwa dirinya tidak pernah menerima surat panggilan sidang maupun pemberitahuan resmi dari pengadilan.

“Saya sama sekali tidak pernah dipanggil, tidak ada surat masuk ke rumah, apalagi ikut sidang. Tahu-tahu keluar akta cerai,” ungkap MI ketika dikonfirmasi.

Sementara, Panitera PA Bojonegoro, Drs. Solikin, S.H., M.H., memberikan klarifikasi bahwa proses pemanggilan telah dilakukan sesuai mekanisme yang berlaku melalui sistem e-Court.

“Alamat MI kita dapatkan dari laporan penggugat LD. KTP yang ada di berkas hanya KTP penggugat. Untuk panggilan sidang, sekarang yang melaksanakan adalah Kantor Pos, berdasarkan alamat yang ditulis penggugat,” jelas Solikin, Kamis (28/8/2025).

Ia menegaskan bahwa secara hukum, pengadilan tidak memiliki kewenangan untuk menelusuri kebenaran alamat tergugat.

“Alamat tergugat murni sesuai pengakuan penggugat. PA hanya memproses berdasarkan data itu. Karena perkara ini elektronik, pemanggilan dilakukan melalui Kantor Pos,” tambahnya.

Meski pihak PA Bojonegoro menyebut semua berjalan sesuai aturan, fakta bahwa tergugat (MI) tidak pernah menerima panggilan membuat publik bertanya-tanya soal integritas proses administrasi. Dalam regulasi, setiap pihak wajib dipanggil secara sah dan patut agar persidangan tidak cacat hukum.

Kasus ini kian memperkuat kekhawatiran masyarakat terhadap sistem peradilan elektronik (e-Court) yang diterapkan Mahkamah Agung. Meskipun dinilai efisien, mekanisme ini dinilai rawan celah jika verifikasi alamat tidak dilakukan secara ketat.

Dalam kasus cerai gugat LD melawan MI, semua data sepenuhnya berasal dari penggugat (LD). Artinya, jika alamat tergugat yang ditulis tidak valid atau tanpa melampirkan KTP tergugat (MI), maka proses pemanggilan otomatis menjadi tidak efektif.

Ironisnya, PA Bojonegoro tetap melanjutkan persidangan hingga putusan dan menerbitkan akta cerai, walaupun tidak pernah mengirimkan surat panggilan ke alamat tergugat (MI) sesuai dengan KTP.

Dugaan maladministrasi ini berpotensi mencoreng citra peradilan agama yang seharusnya menjadi lembaga pencari keadilan.

Publik kini menunggu apakah Mahkamah Agung maupun Badan Pengawas Peradilan akan turun tangan mengusut dugaan pelanggaran prosedur ini.

Jika terbukti ada kelalaian, kasus di PA Bojonegoro ini bisa menjadi preseden besar dalam perbaikan sistem e-Court agar tidak lagi menimbulkan polemik di kemudian hari. (Yin)